Perempuan, Berjilbab, dan Solotravelling (Hari 4) : Hat yai

"No place is ever as bad as they tell you it's going to be" - Chuck Thompson


Sedikit memberikan peringatan di awal, ceritaku hari ini akan sedikit melelahkan. Melelahkan mata, kaki, hati, dan kantong. Hahaha. Tapi percayalah, ceritanya pasti berbeda kalau kalian yang datang sendiri ke Hat yai. Ditunggu cerita bahagia kalian di Hat yai ya. Sekarang aku ceritakan hari paling apalah apalah dalam perjalananku kali ini.

Hat yai dari puncak bukit


Bis terkeren yang pernah kunaikin seumur hidup mengantarkanku ke Hat yai

Perjalanan KL - Hat yai ini gak lebih lama daripada perjalanan Jogja - Surabaya dengan moda transportasi yang sama : Bis. Aku berangkat sekitar jam setengah dua belas malam dari TBS dan sampai di pemberhentian akhir (Hat yai) sekitar jam setengah sepuluh pagi, sudah termasuk dua kali berhenti di batas wilayah kedua negara. Perbedaan mencoloknya adalah, kalau bis malam ke Surabaya bikin hati berdesir-desir dan mulut komat-kamit baca dzikir, kalau perjalanan ke Hat yai ini bisnya bikin penumpangnya bahagia dan mulut berucap syukur. Apa sebab? 

Secara fisik, bis yang mengantarkanku ke Hat yai ini seukuran bis pariwisata berkapasitas 50 penumpang, tapi kapasitas maksimal bis tersebut hanya 28. Bisa dibayangkan betapa leganya bis tersebut. Ukuran kursi juga 1,5 kali lipat bis-bis AKAP di Indonesia dengan model kursi yang sangat nyaman. Jarak antar kursi jauh, memungkinkan kita untuk salto dan koprol di antaranya. Eh orak nding, memungkinkan kita untuk merebahkan si kursi dengan sangat rebah. Nyaman, betul-betul nyaman. Ditambah dengan desain interior yang cantik, soket di setiap kursi, dan juga wifi super kenceng. Andai bis AKAP begitu bentuknya, langsung gabung komunitas bis mania lah aku. Secara pelayanan juga sangat memuaskan. Komplain dikit langsung direspon dengan baik sampai beres. Plus ada fasilitas selimut yang anget dan wangi. Hehehehe.

Bagaimana dengan harganya? MURAH! Oke lah, murah itu relatif, tapi pengalamanku taun 2013 naik bis dari Surabaya ke Jogja harganya cuma selisih 50 ribu dengan yang kemarin aku ke Hat yai, dengan fasilitas dan pelayanan yang bagus ditambah ini antar negara jadi itungannya murah.


Buta arah, peta salah, dan gak nemu penjual sim card

Di tulisan sebelumnya aku sudah sedikit bercerita tentang persiapanku jalan-jalan ke Hat yai yang ternyata harus berbeda cerita dengan kenyataannya di lapangan. Salah satunya adalah menyiapkan peta yang kuambil dari google map (print out). Beragam peta dari pool bis ke hostel juga ke destinasi-destinasi wisata di sana. Namun, karena bis yang kunaiki bukan lah bis yang kubayangkan akan kunaiki, terjadilah sedikit kepanikan. Sebabnya, aku sama sekali tidak tau posisi pool bis tempat aku diturunkan ini dan dengan bodohnya aku gak nyari posisiku di mana padahal jelas-jelas di pool ada wifi gratis dan banter, malah asik chattingan -_-. Baru tersadar saat aku sudah jauh dari pool bis dan gak dapat sinyal wifi. Mau beli sim card supaya bisa internetan pun kok ndilalah gak nemu satupun penjualnya.

Aku buka peta yang telah kupersiapkan sejak di rumah dan mencoba mengenali nama jalan yang ada di hadapanku. GAGAL TOTAL! Semua nama jalan di peta menggunakan Aksara Thailand dan aku bahkan gak bisa mencocokkkan bentuk aksara tersebut dengan yang terpampang di jalan-jalan. Sedikit kalut dan panik. Beberapa tukang ojek menghampiri dan menawarkan tumpangan berbayarnya itu. Di tengah panik aku masih bisa waras dengan menolak tawaran tukang ojek itu. Prinsipku, "jangan pernah naik ojek, gak ada standar harga, gak ngerti cara ngenyang(nawar harga), bahaya". Aku terus berjalan tanpa tau aku jalan ke arah mana. Tanya ke beberapa orang dalam bahasa inggris mereka gak paham, dalam bahasa indonesia makin gak paham, dalam bahasa melayu (yang dipaksakan) mereka juga gak paham, nunjukin petanya ke mereka eh malah mereka melipir pergi -_-. Oke lah, terus jalan sambil lihat-lihat suasana kotanya aja.

lampu jalannya apik-apik

hampir di seluruh jalanan di downtown-nya ada yang jualan di pinggir-pinggir jalan begini

Setelah jalan entah berapa lama secara tiba-tiba aku melihat bangunan stasiun di kejauhan. Reflek aku langsung membuka peta dan mencari tanda stasiun di peta tersebut. Beruntung, ternyata stasiun tersebut dekat dengan hostelku. Segera aku pasang badan cari arah dan melesat menuju hostel. Jam baru menunjukkan pukul 11.30 ketika aku sampai di hostel tersebut sementara check in seharusnya jam 2. Iseng kutanya mbak-mbak yang di resepsionis apa ada booking atas namaku, walaupun pasti udah ada sih. Hehehe. Mbak-mbak di resepsionis bilang ada, tapi kasurnya belum siap. Kalau mau nitip tas dulu di resepsionis boleh. IYES!!!! Tas ranselku yang isinya cuma baju-bajuan (dan baju kotor) itu langsung kutinggal di resepsionis sementara aku langsung cus menuju destinasi pertama: Wat Hat Yai Nai.

Hostelku yang warna item, keliatannya kecil ya? Tapi dalemnya oke banget!
Hari paling apalah-apalah pun dimulai -_-

Lagi-lagi, entah karena ngirit atau ingin eksplor kota atau keduanya, perjalanan ke Wat Hat Yai Nai kulakukan dengan jalan kaki yang ternyata cukup menguras energi. Jalan kaki tepat di tengah hari, tanpa topi dan payung, di jalanan yang minim peneduh, selama hampir satu jam, lumayan juga rasanya.
 
Ini jalan utama lhoh, sepi banget ya

kabel-kabel berseliweran

Jual bunga untuk ibadah
Sejauh mata memandang sih yang tergambar di benakku adalah Hat yai ini adalah kota kecil yang sama sekali gak dipersiapkan untuk tujuan wisata. Ya masak sama destinasi wisata kota mereka sendiri mereka gak tau -_-. Mereka punya nama sendiri untuk destinasi-destinasi wisata itu, padahal di website (yang mungkin jadi satu-satunya sumber informasi wisatawan) istilahnya beda -_-. Belum lagi kendaraan umum yang hanya bertuliskan aksara thailand, mana kita tau dia menuju ke mana -_-.

Songthaew, murah tapi....
Hal ter-astaga-orak-paham-meneh di sana adalah saat aku tanya ke beberapa ibu yang jualan di salah satu pasar tradisional, kutunjukin gambar wat hat yai nai, kulihatin tulisan thailand (yang kudapet dari internet) dan juga tulisan dengan alfabet biasa. Para ibu penjual di pasar tersebut cuma geleng-geleng mengisyaratkan gak tau. APA APAAN!! Padahal setelah aku berhasil menemukan Wat Hat Yai Nai ini aku menyadari bahwa mereka berjualan TEPAT DI DEPAN PAGAR WAT HAT YAI NAI. Halahdalah... -___-

Wat ini cuma disebaliknya ibu-ibu jualan, dan ibunya gak tau -_-

katanya sih ini salah satu patung buddha tidur paling gede di thailand, kalo gak salah sih nomor tiga paling besar

Bangunan lain di sebelah bangunan yang ada patung buddhanya

Suka sama foto ini :3
Setelah menempuh perjalanan yang bikin kaki gempor, kepala panas, dan hati nyut-nyutan, apakah terpuaskan dengan tempat ini? Yaaa... Okelah buat ambil gambar, foto-foto bangunannya, orang-orangnya, biksu-biksunya... Tapi selebihnya, gak ada yang bisa dilakukan di tempat ini. Duduk diam yang biasa jadi aktivitas menyenangkan buatku pun tidak terlalu bisa menyenangkan hatiku di tempat ini. Mungkin karena banyak guguk berseliweran (aku gak terlalu takut guguk sih, tapi kalo sampe kena liurnya harus nyuci/mandi pake pasir dan 7 kali pake air kan repot banget, kebayang jaman kkn). Penyebab lainnya kemungkinan besar adalah karena tempat tersebut merupakan tempat ibadah umat agama lain dan sedang ada ritual ibadah saat aku datang. Aku memang selalu merasa gak nyaman ketika harus melihat ritual ibadah agama lain, soalnya aku sendiri juga gak nyaman kalo sholat diliatin orang, hehehe. Selain takut mengganggu aktivitas ibadah juga karena aku merasa gak tepat ada di sana.


Beranjak menuju pengalaman apalah-apalah berikutnya -_-

Merasa cukup dengan apa yang sudah dilihat dan gambar-gambar yang didapat di Wat Hat Yai Nai, aku segera menuju jalan utama, kali ini untuk mencari songthaew. "Udah gak sanggup lagi adek jalan kaki, bang...". Berhubung si songthaew ini hanya bertuliskan tulisan thailand, aku akhirnya harus memberhentikan hampir semua songthaew untuk menanyakan apakah mereka akan melewati tempat tujuanku. Sebenarnya aku sudah searching tentang jalur-jalur songthaew di Hat yai, tapi kok aku merasa ada yang salah dengan hasil riset internetku itu -_-. Singkat cerita, aku berhasil menemukan songthaew tersebut dan hanya perlu bayar 10 baht untuk pergi ke lokasi yang cukup jauh itu (1 baht = 390 rupiah). Lokasi ini adalah lokasi transit, karena berdasar informasi yang kudapat, untuk menuju destinasiku itu perlu ganti songthaew sekali lagi. Di tempat transit ini ada sebuah pusat perbelanjaan, sempat menengok ke dalamnya sebentar. Tapi... sama sekali gak tertarik dengan barang-barang yang dijual.

Di depan pusat perbelanjaan itu ada banyak songthaew yang seliweran, warna-warni, semua dengan tujuannya masing-masing. Lagi-lagi, karena aku gak paham tulisan Thailand, aku menghampiri seorang bapak yang sedari tadi kulihat sibuk mengatur songthaew yang berseliweran untuk menanyakan songthaew mana yang menuju destinasiku. Malang tak dapat ditolak! Bapak-bapak yang kupikir adalah orang yang ada urusan dengan songthaew tersebut ternyata adalah tukang ojek yang sedari tadi nyari penumpang yang turun dari songthaew!!! Si bapak langsung ngegeret aku menuju motornya dan maksa banget aku naik motornya. "asem ik, jekpot", batinku. Dengan kewarasan yang masih tersisa aku tanyakan ke bapak itu berapa yang harus kubayar untuk menuju tempat tersebut. Si bapak menjawab "tu wan let", sambil jarinya mengisyaratkan dua. Kutanya, "twenty?", si bapak mengangguk. Okelah murah, batinku. Di jalan perasaanku gak enak aja, ya mungkin juga karena aku gak pakai helm sementara si bapak naik motornya kenceng banget. Di Hatyai (dan nantinya juga di songkhla), orang naik motor tanpa helm itu pemandangan yang biasa.

Sesampainya di lokasi tujuan (yang jaraknya gak lebih jauh dibandingkan dengan jarak dari Wat Hat Yai Nai ke lokasi transit), aku kasih lah duit 20 baht. Eh, si bapak  protes minta lebih, aku tambah 20 baht lagi. Masih protes juga sambil terus bilang "tu wan let tu wan let". Gak paham dengan apa yang dimaksud bapaknya, aku dateng ke seorang mbak-mbak dan menanyakan apa yang dimaksud bapaknya itu. Beruntung, mbaknya ngerti bahasa inggris, ya walaupun keliatan grogi dan ketakutan ngomong pake bahasa inggris sih. Mbaknya ngobrol sama bapak ojek itu sebentar kemudian ambil kalkulator. Sejurus kemudian mbaknya nunjukin kalkulator itu ke aku lengkap dengan tulisan "200" di sana. "njiiiirrrrrrr.....", batinku. Kukeluarkan duit 200 baht dan kukasihin ke bapak ojek itu. Si bapak ojek kemudian maksa aku untuk dijemput bapaknya yang dengan tegas banget aku tolak mentah-mentah (karena si bapak minta 200 lagi untuk balik). Gile kan 78.000 rupiah untuk ngojek dengan jarak yang gak jauh-jauh amat. Kan bete maksimal jadinya.

Kejadian itu berefek pada hancur leburnya moodku. Hahaha. Bahkan tempat seindah Hat yai Municipality Park gak mampu membuatku senyum sama sekali. Aku hanya betah sejam di tempat ini, itupun gak berhasil mengeksplor seluruh sudutnya karena lokasi yang berbukit dan fisik yang sudah tidak mendukung untuk jalan kaki (apalagi naik turun bukit).

Lonceng-lonceng

Di bawah patung ini ada ruang ibadahnya

Lihat dari atas dan menyadari bahwa Hat yai itu luas, tapi aku gak sanggup eksplor semuanya :(
Ketika kembali ke hostel, aku menumpang tuk-tuk yang kebetulan sudah dinaiki oleh ibu-ibu yang mau pergi ke tempat yang searah denganku, lumayan murah karena bareng-bareng. Satu yang aku suka dari pak sopir tuk-tuk (yang sudah sangat sepuh) ini, ketika aku tanya harga dia meminta kertas dan pulpen kemudian menuliskan harga yang dia inginkan. Metode kertas dan pulpen ini akhirnya kugunakan seterusnya untuk ngenyang apapun jua.

Gak seperti sebelum-sebelumnya, aku mengakhiri hari di saat matahari masih bersinar. Pertama mungkin karena mood yang udah drop siang tadi. Kedua karena badan udah gatel pengen mandi (terakhir mandi hari sebelumnya, ups, hahahaha). Ketiga karena badan udah gak bisa diajak kompromi lagi, kemarinnya hujan-hujanan (di KL bird park), eh hari ininya panas-panasan. "Pusing pala princess..." hem. Sisa hari itu kuhabiskan dengan tidur dan batuk-batuk di kamar seorang diri (karena penghuni kamar yang lainnya masih pada jalan-jalan).

Jadi, gimana Hat yai? Hmmm... Untuk sekali didatengin okelah, buat memuaskan rasa penasaran. Tapi kalo ditanya, "mau ke Hat yai lagi?". Emmm... Cukup sekali kayaknya ya....

1 komentar: