Drama Antaraku dan LPDP

"Allah, aku ingin dengan kedua tanganku ini aku berbuat sesuatu untuk negeri ini, memberi arti bagi bangsa dan negara Indonesia", sepotong kalimat yang sejak SMA senantiasa kuhadirkan di setiap doa. Kuharap kalian yang membaca tulisan ini sudi meng-amin-i doa tersebut...


sumber: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRUCQxUxrQDuRYCGf9PQtS7jyQrQQ0T28VcSPDAOvwEeVam_fA0aHumoqg7nriDXpOHapo5fGAChyphenhyphenHyiBD6ZMHIk2T3pC79_eYrLCY0wNUFi5VpSw6ZYEVXB40NZR0y0zMElcGZ_fwNwM/s1600/merah-putih+1.jpg

Beasiswa LPDP menjadi incaran bagi banyak anak muda Indonesia yang ingin melanjutkan studi ke jenjang pendidikan pascasarjana baik di institusi pendidikan dalam maupun luar negeri. Seluruh komponen biaya pendidikan hingga biaya hidup ditanggung penuh oleh LPDP untuk mereka yang berhasil mendapatkan gelar "awardee", calon mahasiswa mana yang tidak mau? Ribuan orang setiap periodenya berbondong-bondong mendaftarkan diri mengikuti seleksi beasiswa ini, dengan beragam motivasinya. Mereka yang mendaftar adalah orang-orang yang hebat di bidangnya, memiliki kemampuan akademis yang memadai, kemampuan bahasa inggris yang di atas rata-rata, kemampuan organisasi dan interpersonal skill yang baik, memiliki beragam prestasi dan rekam jejak yang mengesankan. Persaingan yang sangat ketat, tentu saja.

LPDP merupakan beasiswa pemerintah Indonesia yang sejauh ini dikelola dengan amanah oleh kementerian keuangan. Sebagai beasiswa asli dari dompet negara, wajar jika LPDP meminta timbal balik dari para awardee berupa komitmen untuk membangun bangsa dengan ilmu yang telah mereka peroleh selama studi master/doktoral/spesialis. Di poin ini lah ketertarikanku pada beasiswa ini mulai tumbuh. Ada kesamaan semangat antara aku dan LPDP, yaitu semangat untuk membangun bangsa. Jika memang LPDP membuatku jatuh cinta, bukankah mendapatkannya adalah sebuah kebahagiaan? Di mana letak dramanya?


Gagal di kesempatan pertama

Februari 2016, setelah dinyatakan lolos administrasi, aku mengikuti seleksi substansi LPDP untuk pertama kalinya. Kala itu aku mendaftar untuk program studi "Food Innovation and Health", Universitas Copenhagen. Di lokasi seleksi, entah kenapa aku dipertemukan dengan Mbak Agnis Triahadini (penulis "kok bisa saya gagal LPDP?") dan menghabiskan seharian penuh bersamanya (kebetulan jadwal seleksi kami berdekatan, bahkan essay dan LGD pun kami satu kelompok). Saat itu adalah kali kedua Mbak Agnis mencoba peruntungannya melalui beasiswa ini. 

Seharian penuh aku mendengar cerita yang penuh inspirasi dari Mbak Agnis, terutama tentang semangatnya untuk bangkit dan berjuang kembali dengan penuh keinsyafan (evaluasi diri matang, persiapan untuk tes kedua juga mantap). Di kesempatan yang sama aku juga bertemu kakak kelasku SMA, Mbak Ria, yang juga mengikuti seleksi untuk kedua kalinya. Seolah-olah aku dipersiapkan oleh Allah untuk menghadapi kegagalan.

Sumber: http://www.gocollege.com/images/scholarship-search.jpg

Benar saja, 10 Maret 2016, aku dinyatakan tidak lolos beasiswa ini. Naasnya, aku sama sekali tidak menyiapkan rencana cadangan. Aku hilang arah untuk beberapa waktu. Mulai goyah dan galau untuk melanjutkan sekolah. Bagaimana lagi, kebijakan LPDP membatasi setiap orang hanya memiliki dua kali kesempatan mengikuti seleksi substansi LPDP. Satu kesempatan sudah hilang, kalau yang kedua gagal lagi bagaimana? Aku sempat membuat akun dua beasiswa lain dari pemerintah dua negara berbeda (New Zealand dan Australia), namun tidak kunjung mendapat kemantapan hati untuk mendaftar kedua beasiswa tersebut. Memang hanya LPDP yang nyantol di hati, sampai hari ini


Momen bangkit dan sakit

Dua hari setelah dinyatakan gagal dan mulai bingung mau ke mana mengambil langkah, aku menghibur diri dengan jalan-jalan seorang diri ke Malaysia dan Thailand, sambil mencari inspirasi tentang apa yang bisa kulakukan setelah ini. Takdir mengirimku keliling laboratorium di jurusan Ilmu dan Teknologi Makanan, Universitas Putra Malaysia dan bertemu mahasiswa master dan doktoral di sana (yang seluruhnya orang Malaysia). Kunjungan singkat, tapi cukup untuk memanggil kembali semangat untuk sekolah lanjut. Di Thailand pun aku secara tidak sengaja menghabiskan hari dengan seorang profesor dari Universitas Thaksin dalam kondisi santai (cenderung konyol) sehingga bisa banyak sharing, menyerap inspirasi, dan memompa semangat untuk studi lagi. 

Pulang dari perjalanan itu, aku mantap untuk kembali mendaftar beasiswa LPDP di periode berikutnya. Kali ini dengan sebersit pemikiran bahwa lanjut studi tidak harus ke luar negeri, meskipun keinginan untuk ke luar negeri tetap menguasai hati. Sesampainya di rumah, diskusi tentang lanjut studi ini menjadi bahasan yang cukup panas di antara aku dan bapak, yah walaupun gak sepanas kabar ada yang mau nikah duluan, hehehe. Kombinasi antara kegalauan daftar LPDP lagi atau gimana, milih sekolah lagi (sebelumnya udah dapet LoA yang sedihnya gak bisa di-defer ke tahun depan, ngerasa sayang effortnya kemarin), plus galau ditinggal nikah orang (pake drama banget ini cerita ditinggal nikahnya, menguras habis air mata dan bahkan menggoncangkan hubunganku dengan beberapa orang, hahaha) berhasil membuatku tumbang dan terkapar di rumah sakit seminggu lamanya (gak tau ding, sakitnya karena ini atau bukan, hehehe).

Momen sakit ini aku gunakan untuk merenungi niatanku untuk sekolah lagi. Kenapa aku harus sekolah lagi? Apa yang aku cari? Di mana muara akhir dari ilmu-ilmu yang kudapat akhirnya?


Selang infus dan oksigen jadi saksi

Selama sakit aku selalu menghindari cahaya, jangankan cahaya dari layar laptop, cahaya matahari yang ada di luar kamar aja bisa membuatku frustasi. Tapi lain cerita ketika tanggal 15 April 2016, hari terakhir submit periode 2 LPDP tahun ini. Pagi buta, saat aku masih bergelut dengan sakit kepala hebat yang selalu kumat di pagi hari, samar aku lihat bapak masuk kamar rumah sakit membawa printer (sekaligus scanner) dan laptop. Bapak sudah berangkat ke kantor saat aku sadar di siang hari. Aku terbangun seorang diri di kamar, bengong lihat ada printer dan laptop di samping tiang penyangga infus. 

"Bapak ingin aku tetap berjuang sesulit apapun kondisinya", batinku

Siang hari, dengan segenap kekuatan yang ada aku beranikan diri menatap layar laptop, mulai menyelesaikan beragam persyaratan administrasi untuk mendaftar LPDP. Godaan besar muncul saat aku harus menandatangani surat pernyataan yang di dalamnya memuat program studi dan universitas tujuan. Ingin rasanya aku berhenti, tidak menandatangani surat pernyataan itu. Ambisi untuk sekolah di luar negeri masih menggelayut di hati, belum ikhlas dengan kesepakatanku dan bapak tempo hari bahwa aku akan melanjutkan sekolah di dalam negeri.

Sumber: http://www.deborahmacdonald.com/wp-content/uploads/2011/10/woman-money-struggle-1024x682.jpg
Tapi toh setelah meluruskan niat, akhirnya kutandatangani juga, ku-submit juga aplikasiku yang kedua ini. Pasrah dengan segala hasilnya nanti, termasuk kenyataan bahwa aku memilih jalan yang berbeda dengan jalanku yang pertama. 

(Oiya, kalau ada yang bertanya "LPDP kan ada syarat surat keterangan sehat, lah gimana bisa dinyatakan sehat kalau pas submit aja lagi opname gitu?", hehehe... ya itulah aku bersyukur ngurus surat keterangan sehatnya pas betul masih sehat, hehehe.)


Grup Line membawa semangatku sampai di puncaknya

Akhir April 2016, aku dipertemukan dengan grup line "LPDP Substansi Jogja". Berawal dari line, Okta, Mbak Rosa, Mbak Sasi, Azmi, Mbak Wahyu dan juga aku mulai menyusun jadwal belajar bareng. Peserta belajar bareng ini bukan hanya kami berenam, karena acara ini terbuka untuk semua orang di grup tersebut. Kami saling share isu-isu terhangat, melatih diri melakukan LGD, berlatih menulis essay dengan batasan waktu, sampai berlatih wawancara satu lawan satu kemudian saling mengevaluasi. Poin paling penting dari latihan kami adalah adanya transfer semangat antar individu peserta latihan. Tingkat kepedean meningkat tajam setelah sering berlatih. Aku menjadi sangat bersemangat menyambut hari seleksi.


Diterima, tapi masih deg-degan juga

Puasa pertamaku di bulan Ramadhan tahun ini, tanggal 10 Juni 2016, berbarengan dengan hari pengumuman LPDP. Okta, teman belajarku, mengajakku untuk ikut kajian di maskam UGM dan berdiam di sana sampai waktu isya'. Kami menenangkan hati kami masing-masing dengan memperbanyak tilawah. Aku dan Okta sama-sama menanti keputusan akhir dari kesempatan terakhir kami, perasaan kami campur aduk. Usai tarawih, aku baru berani memegang hp dan membuka email di sana. Alhamdulillah, lolos...

Namun, ternyata perjalanan masih belum mulus. Sampai hari ini aku masih belum mendapat kepastian apakah bisa memulai kuliah di semester ganjil (start Agustus) ini, ataukah aku harus menunda kuliah selama satu semester. Untuk cerita tentang ini masih belum bisa aku bagi. Biarlah nanti kalau sudah selesai perkaranya baru aku cerita. Hehehe...


Pada akhirnya, hidup mengikuti skenario Sang Sutradara

Usaha boleh keras dan mati-matian, berproses boleh sampai jungkir balik kesakitan, tapi hasil adalah mutlak kewenangan Allah. Kadang ada yang harus diikhlaskan... Kadang ada yang harus dikorbankan... Kadang ada yang harus dihadapi saja... Selama niat kita lillah, mengharap ridho Allah di setiap langkah, kenapa harus ragu bahwa jalan ini adalah jalan yang terbaik? Entah kebaikan apa yang ada di hadapan, tapi aku yakin, Allah simpan kebaikan di jalan ini.

Sumber: http://assets-a2.kompasiana.com/items/album/2016/03/21/lpdp-56ef4d39747a611a05841862.png?t=o&v=760

Aku tau, untuk sebagian orang ceritaku ini terlalu menye-menye dan gak penting. Tapi inilah yang kulalui dan kurasakan selama berjuang mendapatkan balasan cinta dari LPDP. Mungkin, di satu fase hidupku yang lain nantinya aku akan membuka kembali tulisan ini dan menertawainya. Iya, nanti, saat hidupku sudah lebih berarti...


5 komentar:

  1. tetap semangat ya, dorongan orang tua memang top walau tanpa kata-kata

    BalasHapus
  2. Tetap semangat Mbak, justru kalau kalau gak punya sesuatu yg dicita2kan hidup akan kosong. Semoga diberikan yang terbaik oleh Allah ya aamiin :)

    keluargahamsa.com

    BalasHapus
  3. insyaAllah ada skenario Allah yang lebih baik tapi kita tidak tahu. Memang kalau belum rezeki mau dikejar kemanapun sulitnya ukan main. Saya pernah lulus hingga tahap wawancara dan akhirnya gagal beasiswa ke Australia karena hal sepele saja. Mungkin ambisi itu harus sedikit diredam supaya ga terkesan ngotot yg akhirnya malah bikin drop. Tetap semangat, saya yakin ada yg lebih baik sedang dipersiapkan Allah.

    BalasHapus
  4. oya tapi semua pengalaman meski itu gagal bukannya suatu kesia-siaan loh itu juga sesuatu yg berharga bahwa kita pernah berjuang dan mengalami sesuatu yang orang lain belum tentu pernah merasakan.

    BalasHapus