Perempuan, Berjilbab, dan Solotravelling (Hari 5) : Songkhla

"Dimana-mana pasti ada orang baik" - Ihsan Bani


Mas Bani, seniorku di kampus yang jadi sasaran curcolku tentang rencana nge-bolangku ke Malaysia-Thailand pernah bilang begitu di suatu percakapan menjelang keberangkatanku Bulan Maret lalu. Pernyataan Mas Bani ini melekat di kepala selama aku dalam perjalanan kemarin. Betul saja, setiap hari selama masa perjalanan ini aku selalu dipertemukan dengan orang-orang baik yang hadir secara tiba-tiba, tanpa pernah saling kenal sebelumnya. Ada Kak Fatiha, Kak Azih, mas-mas delivery pizz* h*t, mas-mas entah siapa di kereta, mbak-mbak Thailand yang di bis, ibu-ibu penjual nasi dan suaminya, dan yang paling dahsyat adalah pertemuanku dengan James Staley di Songkhla. Kunjungan singkatku ke Songkhla menjadi bagian cerita yang paling tidak bisa kulupakan.

Ulfah dan James


Nyaris tidak jadi berangkat ke Songkhla

Uang di dompet tinggal 500 baht, cukup saja kalau mau ke Songkhla, tapi resiko juga kalau uangnya habis di Songkhla. Aku menunggu van menuju Songkhla di depan sebuah rumah sakit. Lagi-lagi hanya ada aksara Thailand di seluruh van. Niatku pergi ke Songkhla semakin surut, khawatir gak bisa kembali ke Hat yai tepat waktu (saat itu aku sudah memegang tiket bis menuju KL untuk malam harinya) di samping khawatir akan kehabisan uang di jalan. Aku kembali berjalan menuju pusat kota Hat yai untuk pergi ke sebuah pusat perbelanjaan dan berpikir akan menghabiskan uang 500 baht itu untuk berbelanja saja. Namun di tengah jalan...

"Indonesia-Indonesia, hai....", ucap suara di belakangku.

Aku menengok dan tratapan, kaget. Bapak ojek yang kemarin mempermainkan harga itu! Ah, sial -_-. Kutolak tawarannya dengan tegas, naasnya dia tetap saja mengikutiku. "Gak ada cara lain", pikirku. Segera aku hampiri songthaew hijau di dekatku, maksudnya supaya si tukang ojek tadi menyingkir. Gak selang lama, si tukang ojek itu pergi. Tapi... Malu juga ya udah nempel di pintu songthaew terus habis itu menyingkir. Hehehe... Iseng kutanya, "Songkhla?" ke sopirnya. Sopirnya mengangguk tanda bahwa aku menghampiri songthaew yang tepat. Lah, udah terlanjut tanya dan bener jalurnya, masak gak jadi naik? Kan lebih malu lagi. Hahaha... Akhirnya dengan bismillahirrahmaanirrahim aku naiki songthaew itu dan merealisasikan rencana kunjungan ke Songkhla, nekat dan pasrah.

Gapura masuk kota Songkhla

Songkhla, Jogjanya Thailand selatan

Songkhla adalah kota yang relatif kecil, namun kecil-kecil begini Songkhla merupakan kota pelajar-nya Thailand bagian selatan. Di kanan-kiri terdapat banyak bangunan institusi pendidikan, salah satunya adalah Thaksin University, nama yang tidak terlalu asing di telingaku. Banyak anak-anak muda berseragam sekolah berseliweran di sekitar jalanan kota. Jalan-jalan di sana tidak terlalu padat dengan kendaraan, hanya saja, lagi-lagi, jarang ada pengendara motor berhelm standard, bonceng tiga itu wajar, dan angkot kelebihan muatan bukan hal aneh.

Sangat sedikit informasi yang bisa kudapatkan di internet tentang transportasi publik di kota ini. Hampir semua merekomendasikan sewa tuk-tuk atau carter ojek untuk dapat mencapai tempat-tempat wisata di sana. Ah, uangku mana cukup, mepet. Akhirnya aku menghampiri pak ojek, bukan untuk carter, tentu saja. Hanya minta diantarkan saja ke patung kepala naga, "biar nanti pulangnya aku jalan kaki", pikirku. Parahnya, aku bahkan gak tau istilah patung kepala naga itu dalam bahasa Thailand. Hasil blogwalking kemarin juga hanya disebut kepala naga. Astaga, macam mana mau diantarkan kalau nama tempat pun gak tau. Singkat cerita pak sopir ojek (yang di Songkhla ini baik hati) sukses menemukan tempat yang dimaksud. Dengan perjalanan panjang dan muter-muter itu aku hanya diminta membayar 60 baht. Padahal sudah siap mental diminta 200 baht, hehehe.

Nag, salah satu dewa yang dihormati di Thailand Selatan

Patung kepala naga (The Great Serpent Nag) ini adalah satu dari tiga bagian patung yang terdapat di sepanjang garis pantai. Bagian kedua adalah perut, di jalan menuju ke Samila Beach dari arah patung kepala ini, sementara ekornya ada di Samila Beach itu sendiri. Saat itu aku sudah pasrah dan ikhlas tidak bisa melihat Samila beach. Kondisi dompet yang sudah sangat tipis, waktu yang sudah mepet sementara aku sudah berniat jalan kaki menuju tempat pemberhentian songthaew, jelas tidak mungkin aku sampai ke Samila Beach yang aku sama sekali tidak tau di mana posisinya. Setidaknya nalar manusiaku mengatakan begitu.

Pertemuan dengan James

"Tin tin tin" klakson motor dibunyikan di belakangku.

Aku cuek dan jalan terus, dengan ransel di punggung, tas selempang di hadapan, botol air minum 1,5 liter di tangan, dan kresek oleh-oleh lumayan besar diikatkan di ransel. Tengah hari yang terik, di jalanan yang sepi, seorang perempuan berjilbab jalan seorang diri dengan bawaan yang rempong, gak heran kalau aku menarik perhatian pengguna jalan (yang sebagian besar tuk-tuk dan ojek).

"Tin tin tin" bunyi klakson itu belum berhenti juga.

"Ih, tukang ojeknya gigih juga ya", pikirku. Kutolehkan kepalaku ke arah sumber suara yang kebetulan bersamaan dengan saat dia berteriak "Where are you going?". "Tunggu, apa dia baru saja bicara bahasa inggris?", tanyaku dalam hati. Maklum, jarang sekali aku menemukan orang yang berbicara bahasa inggris di sana. Kuperhatikan wajahnya dengan seksama. Nyaris aku berteriak, "BULEEEE", untungnya aku masih bisa mengontrol diri. Seorang pria ekspatriat paruh baya ada di hadapanku, di atas motor yang sedari tadi mengklaksonku. Tanpa terlalu banyak berpikir panjang segera aku hampiri dia.

Setelah ngobrol beberapa saat, dia bilang bahwa tempat menunggu songthaew itu 3 km jaraknya dari tempat aku jalan saat itu. Dia menawarkanku untuk ikut di motornya dan diantarkan ke tempat menunggu songthaew. Tawaran itu kuiyakan begitu saja dan tanpa basa-basi lagi aku naik ke motornya. Di jalan kami saling mengenalkan diri. Terkejutlah aku ketika mengetahui dia bukanlah turis yang sedang main di Songkhla, melainkan seorang pensiunan dosen di Thaksin University, salah satu universitas besar di sana. Dia bertanya apakah aku sudah ke Samila dan kujawab "belum". Secara tiba-tiba dia mengganti tujuan yang semula adalah tempat pemberhentian songthaew menjadi Samila beach. "Belum sampai Songkhla kalau belum ke Samila", katanya.

Kebersamaan singkat yang sangat berkesan

James mengantarkanku ke icon dari Samila Beach yaitu patung putri duyung yang dipercaya pernah menampakkan diri di sekitar pantai itu. Tapi kalau kata James sih "Palingan cuma dugong". Hahahaha. Patung putri duyung ini sedikit berbeda dengan patung putri duyung yang ada di Copenhagen. Kalau di Copenhagen kan putri duyungnya kalem, lah kalo di Songkhla putri duyungnya genit, posenya lagi kuciran, hehehehe.

Gak nyangka bisa foto di sini, hehehehe
Oiya, foto selfieku dengan James itu juga diambil di lokasi yang sama, sayangnya si duyung gak menampakkan diri :p hehehehe. Puas ambil gambar pantai dan seisinya, aku langsung diajak James ke Tang Kuan Hill Top, sebuah tempat di atas bukit kecil penuh monyet, bisa lihat Songkhla secara keseluruhan dari bukit ini. James banyak menceritakan tentang kota Songkhla, apa saja yang ada di sana, sejarahnya (bahkan sampe sejarah ketika masih jaman Majapahit!), orang-orangnya, budayanya, dll. Bahagia! Selalu suka dengan cerita-cerita semacam ini yang didapat langsung dari lokasinya. Hehehe.

Maafkan kurang oke fotonya

Samila beach dari atas

Suka suasana kotanya, ada pantai soalnya. Hehehe

Daerah pemerintahan di Songkhla;
Songkhla ini kota pusat administrasi di Thailand Selatan, jadi orang dari kota mana-mana mau ngurus berbagai dokumen  pada dateng ke Songkhla
Jalan utama di Songkhla, kalau dirunut terus jalan ini bisa tembus ke Singapore lho ;)

Stadion (yang melingkar itu, keliatan gak?

pelabuhan, kapalnya udah tinggal sedikit kata James, padahal buatku itu masih banyak banget
Selama di bukit ini aku melihat helikopter terbang rendah dan berputar-putar di atas laut, tidak jauh dari bibir pantai. Ternyata, selain menjadi pusat administrasi di Thailand selatan dan juga sebagai kota pelajar, Songkhla juga merupakan pusat navy a.k.a tentara angkatan laut di Thailand selatan (eh aku gak tau di Thailand selatan apa di seluruh thailand nding). Ya beda-beda dikit sama Jogja lah ya, bedanya kalo Jogja angkatan udara, bukan laut.

Turun dari bukit, kami langsung menuju old town-nya Songkhla, aku gak tau istilahnya apa sih di sana, tapi yang jelas James bilang itu adalah tempat awal-awal berdirinya Kota Songkhla. Kami sempat bertemu mantan mahasiswa James di situs penggilingan beras tertua di sana, yang konon sedang didaftarkan ke UNESCO. Btw, dermaga di samping penggilingan beras ini cantik banget.

Sukaa
Berikutnya James mengajakku makan siang di sebuah rumah makan halal. Kami berpisah di tempat pemberhentian bis, dia memberhentikan van (yang jauh lebih nyaman daripada songthaew) dan membantuku berkomunikasi dengan sopirnya. Selanjutnya aku kembali ke Hat yai, sedikit berbelanja untuk menghabiskan uang baht-ku. Kemudian langsung kembali ke Kuala Lumpur.

Sampai hari ini aku masih percaya gak percaya dengan apa yang aku alami di Songkhla. Kalau kata seorang psikolog, dalam psikologi hal-hal semacam ini dikenal dengan nama resonansi, jadi kita menarik orang-orang yang satu frekuensi dengan kita, jelas bukan kebetulan semata. Bukan kebetulan James saat itu sedang ada di sana, bukan kebetulan James menyadari ada seorang anak ilang di sana dan kemudian menghentikan motornya, bukan kebetulan pula aku langsung percaya sama James tanpa rasa curiga. Tapi, di atas semua itu, aku percaya  bahwa semua gak lepas dari rencana Allah. Alhamdulillah....

4 komentar:

  1. Wuih.. asyiknya bisa jalan2.. lengkap liputannya.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe.. Makasih mak :) Yuk jalan-jalan, gunungkidul sejuta pesona nih...

      Hapus
  2. Balasan
    1. Ayo mbak, ke sana... Saya mau kok diajak lagi :D

      Hapus