Ternyata.... Berjodoh


Tulisan ini sengaja ditulis untuk melepas semua rasa yang ada di hati. Tentang pertemuan, penyangkalan, penolakan, kepasrahan dan penerimaan yang membawa kami berdua ada di posisi kami sekarang, sebagai suami dan istri


Pertemuan pertama yang terlupakan

Pagi natal tanggal 25 Desember 2006, sepupuku Mbak Dian melangsungkan pernikahan dengan suaminya Mas Erlis di Pendopo Monumen Diponegoro, Yogyakarta. Sebelum acara dimulai, aku (13 tahun) dengan kebaya pink lengkap dengan jarik dan jilbab pink-hijau stabilo plus make up tebal sedang berkejaran dengan adikku yang waktu itu masih balita. Segerombolan laki-laki muda riuh bercanda dan tertawa di tempat yang tidak jauh dari tempatku berdiri. Dalam gerombolan itu ada sepupuku, Mas Rendra yang entah kenapa tiba-tiba memanggilku. Sebagai adik yang baik (haisyah), aku mendekat ke arah yang memanggil sambil ringan bertanya, "kenapa?'

"Ini, ada yang mau kenalan.", jawab sepupuku, entah berkelakar atau tidak, yang jelas teman-temannya dalam gerombolan itu secara spontan tertawa dan menjadi ribut karenanya. Seorang laki-laki ditarik keluar dari gerombolan dan dipaksa menjulurkan tangan untuk berkenalan. "Yayak", katanya singkat. "Ulfah", jawabku tidak kalah singkat. "Ini juga SMP 8 lho", kata seorang mas-mas yang lain. "Oh", jawabku malas. Aku langsung berlari pergi, "ih, apaan sih", batinku saat itu. 

Setidaknya itu yang kuingat sampai hari ini. Cerita ini sama sekali tidak kusimpan-simpan dalam hati, karena setelah peristiwa itu tidak ada apapun yang berlanjut, sehingga tidak ada yang perlu diingat-ingat lagi. Hanya saja entah kenapa kejadian ini tidak benar-benar hilang dari ingatan. Perasaan bete karena dipanggil untuk digodain di tengah asyik bermain itu yang masih teringat, segala detail peristiwa lainnya hanya teringat secara samar. 


Pertemuan tidak direncana

Mei 2014, hari pertama aku kembali tinggal di rumah setelah dua tahun hidup di asrama, adik perempuanku berkata padaku, "Mbak, nanti malam ada temennya Mas Rendra mau ke rumah ambil carrier. Carriernya di sini ya." Carrier tersebut milik Mas Rendra yang baru selesai dipinjam Dina dan akan segera dipinjam teman Mas Rendra. Malam itu Dina tidak bisa menemui teman Mas Rendra tersebut, entah karena apa aku lupa.

"Temennya Mas Rendra yang mana?", tanyaku singkat. "Mas Yayak", jawab Dina yang langsung kutimpali cuek, "Oooh..".

Malam harinya Mas Yayak datang ke rumah untuk mengambil tas tersebut. Kunjungan singkat dan tidak begitu berarti untukku. Toh selama ini juga aku beberapa kali bertemu Mas Yayak entah dalam acara keluarga Mas Rendra atau reuni SMA (karena kami kebetulan lulusan satu SMA yang sama) dan rasanya selalu biasa saja. Hanya saja entah kenapa malam itu ada yang mengganjal di hati.

"Mas Rendra, wajah temen mas ternyata mirip mantanku", sebuah pesan singkat kukirim ke Mas Rendra malam itu.


Masa-masa menyebalkan

Setelah malam itu berlalu, adik perempuanku tiba-tiba berkata ketika aku melewati kamarnya, "Mbak... Mas Yayak minta nomor HP mbak, gimana?". Aku mulai resah, perasaanku tidak nyaman, "pasti akan ada yang terjadi", batinku. Namun entah kenapa dari mulutku meluncur kalimat, "kasih aja". Dan benar saja, setelahnya ada yang terjadi di antara kami. Sesuatu yang membuat hati tidak nyaman. Sesuatu yang tidak aku suka.  Sesuatu yang membuat bimbang dan galau.

Mungkin bagi mas Yayak, dan bagi orang kebanyakan, pendekatan semacam itu adalah hal yang wajar-wajar saja terjadi. Tapi bagiku yang baru saja keluar dari asrama pembinaan, di mana selama dua tahun dicekoki pemikiran-pemikiran Islami, anti-pacaran dan lain sebagainya, rasanya... apa yang kulakukan ini salah. Melayani seorang lelaki yang mendekati, rasanya di hati terus berkata, "ini salah fah, ini salah".

Selama periode pendekatan itu aku terus curhat ke teman-teman dekatku, yang saat itu kebetulan teman curhatku semuanya laki-laki. Kebetulan lagi, seluruh teman-teman curhatku adalah orang-orang yang sedang semangat-semangatnya belajar agama, keduanya santri di sebuah pesantren mahasiswa di daerah condongcatur. Sementara seorang lagi.... sepertinya lingkungan kantornya sangat kondusif untuk belajar agama. Kesemuanya mendorongku untuk menjauhi mas Yayak, menghindari fitnah, menjauhi perilaku yang dibenci Allah. Kurang lebih seperti itu intinya.


Dua bulan di pulau tanpa sinyal

Juli 2014, aku berangkat ke Manyaifun, suatu pulau kecil di bagian timur Indonesia. Aku menghabiskan dua bulan di pulau yang bagiku keindahannya subhanallah, belum ada yang bisa mengalahkan. Setiap hari di pulau itu adalah momen tafakur bagiku, menyaksikan pergantian malam dan siang yang menggetarkan hati, merasakan diombang-ambing ombak besar dalam biduk kecil tidak tahu apakah akan selamat sampai ke daratan atau tidak, berhadapan dengan pulau-pulau karang yang menggambarkan betapa sempurnanya Sang Maha Pencipta, melihat anak-anak muslim di pulau minoritas muslim merengek-rengek minta diajari mengaji, dan memperhatikan perilaku teman-teman dalam menghadapi godaan duniawi.

Saat itu aku lupa sama sekali dengan mas Yayak, selain karena sibuk menikmati keindahan Manyaifun sambil menjalani program-program KKN, aku juga kesulitan mendapatkan sinyal. Boro-boro sinyal internet untuk chatting dan video call, bisa sms saja sudah bersyukur. Tentu aku lebih memprioritaskan menghubungi keluargaku dibandingkan melayani sapaan sapaan tidak penting dari laki-laki yang bukan siapa-siapaku.


Penolakan...

Pulang dari Manyaifun, aku menjalani rutinitas penelitian di laboratorium sekaligus les Bahasa Inggris sebagai persiapan sekolah lanjut saat itu. Saat itu aku merasa mas Yayak kembali berusaha mendekat. Entah karena apa, aku meladeninya kembali. Namun, aku masih dalam kegalauan yang sama: "bukan begini cara yang kuinginkan untuk mendapatkan jodoh".

Maka pada suatu sore, di suatu tempat makan favoritku sejak masa kanak-kanak yang siomay dan jus pisangnya selalu sukses membuatku bahagia, saat mas Yayak menanyakan apakah aku mau menjalani hubungan yang lebih dari saat itu, aku jawab tidak... (tapi aku sendiri lupa redaksi yang kupakai untuk menolak apa, ingatanku menguap karena yang kuingat hanya kemantapan hati untuk menolak mas Yayak saat itu).


Fase patah hati...

Setelah penolakan itu, aku dengan mudah berpindah dari satu fokus ke fokus lain. Menyelesaikan sekolah jenjang sarjana, tes IELTS dengan skor di atas target, ngebolang sendiri untuk pertama kali (bagiku ini satu pencapaian lumayan besaaarrrr hehehee), mendapatkan beasiswa lanjut ke program master, dan mendapatkan kesempatan riset di Jepang.

Semuanya terjadi bersamaan dengan hadirnya mas-mas yang datang dan pergi silih berganti. Lelah, sangaaaaaaaattttt lelah menjaga hati. Di saat lelah sekali, datang seorang lelaki yang melalui ayahnya menanyakanku untuk dijadikan bakal calon istri, tapi.... karena masnya datang saat aku belum mendapat kejelasan studi, bapak menolak. Saat itu, aku sudah diterima di salah satu universitas top dunia di Eropa sana, namun aku gagal dalam seleksi beasiswa. Patah, patah sepatah-patahnya. Beasiswa gak dapat, suami sholeh juga gak dapat. Hahahaha. Saking patah hatinya saat itu, 7 hari 7 malam aku mengunci diri di kamar, menangis sepuas-puasnya, sampai akhirnya collapse dan harus dirawat di rumah sakit selama sepekan. Pol mentok patah hatinya. Hahahaha.

Aku kecewa sekali saat itu... Kenapa di saat datang orang sholeh dengan itikad baik, pun dengan cara yang sangat baik, kenapa ditolak? Sementara aku sudah meminta dan memohon kepada orang tua saat itu untuk segera dinikahkan karena merasa sangat lelah menjaga hati. Tapi aku akhirnya bisa menerima keputusan itu walau dengan mimbik-mimbik dan mengikhlaskan masnya menikah dengan perempuan lain yang memang sudah siap.

Aku meneruskan perjuangan mencari beasiswa, kali ini mengikuti saja apa yang dimau orang tua. Diniatkan, "bismillah, menurut dan berbakti pada orangtua insyaallah segalanya berkah". Alhamdulillah setelahnya aku mendapat beasiswa untuk sekolah master di dalam negeri plus doa tulus dari orangtua yang mengalir dari mulut keduanya setiap saat, "insyaallah segera bertemu jodoh yang terbaik". Pada waktu itu, godaan hati masih datang dan pergi, meski tidak lagi aku sudi melayani.

Akhir tahun 2016, seorang laki-laki lain dengan itikad baik yang sama datang ke rumah dan bertemu orangtua. Kali ini aku tau orangtuaku sudah lebih siap, lebih ikhlas melepasku. Orangtua menyambut kedatangan masnya dengan baik. Tapi namanya juga bukan jodoh... Takdir menggariskanku untuk pergi meninggalkan tanah air. Proses yang baru mulai dijalani terhenti begitu saja. Ibu sempat berkata lirih menjelang keberangkatanku waktu itu, "berarti ibu mantunya mundur dong?". Entah apakah ibu serius atau hanya sekedar guyonan, tapi nada suara yang tertangkap di telingaku ini serius.

Aku berangkat ke Jepang dengan hati yang sangat stabil, siap untuk tidak menikah hingga waktu yang lama, siap untuk tidak berurusan dengan laki-laki.

Di fase patah hati ini.... di ujung sana, mas Yayak juga punya cerita patah hatinya sendiri.


Fase pasrah...

Di Jepang, aku sempat terpikir untuk menunda urusan asmara hingga lulus PhD. Bayangan indah melanjutkan studi di masa muda selalu berkecamuk dalam dada. Sempat aku berdebat dengan adik perempuanku soal ini. Aku tidak mau menikah, lagipula.... toh sulit mencari jodoh di sini. Stok laki-laki sholih yang masih jomblo hanya hitungan jari dalam satu tangan saja. Itupun rasanya latar belakangnya terlalu berbeda denganku, sulit berharap dapat jodoh di sini. Tapi akhirnya aku memutuskan untuk pasrah, tidak memaksakan keinginanku, pun tidak ingin memaksakan diri untuk mencari-cari laki-laki. Pasrah, pasrah sepasrah-pasrahnya, ikut Allah saja kapan saja Allah ridho.

Sampai akhirnya terjadilah cerita ini.... Kedatangan kembali mas Yayak di hidupku, dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya. Dengan kesiapan yang lebih matang, dengan cara yang lebih menentramkan hati, dengan proses yang lebih bersih, proses yang selalu kugambarkan dalam doa-doaku padaNya. Aku tidak menyangka, bahwa orang yang datang melalui proses persis seperti dalam doaku itu adalah Mas Yayak, orang yang sama yang pernah kutolak beberapa tahun lalu karena ketidakcocokanku dengan proses pendekatan yang Mas Yayak lakukan waktu itu.

Untuk beberapa waktu, aku merasa enggan menerima mas Yayak. Tapi lagi lagi dan lagi, segalanya aku pasrahkan kembali padaNya. Dan ternyata, melalui orangtuaku, Allah menjadikan terang apa yang sebelumnya gelap: Laki-laki ini lah yang Allah ridhoi menjadi suamiku.


Ikhlas menerimanya sebagai pendamping hidup...

Allah jadikan lapang hatiku, yang tadinya sama sekali tidak suka dengan mas Yayak akhirnya bisa menerima mas Yayak dengan ikhlas dan ringan hati. Setelah menerima beliau pun hati rasanya tenang dan semakin tenteram. Keikhlasan ini datang di suatu sore, setelah aku menangis-nangis di hadapan Allah. Ceritanya sudah kubagi di sini.

20 Agustus 2017, di tempat yang sama dengan lokasi pertama kali kami bertemu hampir 11 tahun lalu, dengan ikhlas hati kami melangsungkan pernikahan. Telah Allah sampaikan Mas Yayak pada jodohnya dan aku pada jodohku. Allah yang pilihkan. Allah yang pertemukan. Allah yang atur ceritanya.

Alhamdulillah.... Meski jalan yang kami lalui menuju satu sama lain mungkin dihiasi berbagai macam peristiwa (dengan) yang lalu-lalu, seringkali lalai dan terjebak godaan dunia, tapi setidaknya... proses bersatunya kami berdua bersih, insyaallah. Semua karena Allah ta'ala, semua untuk Allah ta'ala...

Bismillah...


"Dek, 11 tahun lalu... sebenernya mas udah interest. Interest itu ada, tapi.... yo mosok karo cah SMP sih" - Mas Yayak, beberapa hari menjelang nikah.


Matsuyama, 4 September 2017
Ardhika Ulfah
------------------------------------------------
Ps. cerita ini sebatas apa yang ada di ingatanku, bisa jadi berbeda kalau ditanyakan ke pihak-pihak yang disebutkan di atas (tergantung daya inga masing-masing hahahaa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar