12 Jam di Hongkong: Memaknai Hidup bersama Para Pahlawan Devisa Negara

Momen terbaik setiap perjalanan adalah saat mendapat hikmah tidak terduga dari orang yang tidak disangka-sangka. Sisakan ruang untuk kejutan dalam setiap perjalanan.

Ferry di Pelabuhan Victoria (dokumentasi pribadi)

Cerita ini berawal dari keputusan orangtua (dan aku) untuk menikahkanku di Bulan Agustus lalu. Sebelum memutuskan tanggal pernikahan, aku menceritakan rencana pernikahan ini ke sensei untuk meminta persetujuan dan izin dari beliau. Beliau memberi izin meninggalkan lab selama dua minggu, terhitung dari hari libur resmi di Jepang yang dikenal dengan sebutan Obon. Sensei berpesan untuk segera mencari tiket pulang karena tiket pesawat untuk hari-hari itu cepat sekali habis.


Rencana perjalanan tidak terduga

Sesuai perkiraan, harga tiket untuk hari-hari tersebut benar-benar melambung. Awalnya aku mencari tiket langsung di website maskapai penerbangan LCC (low cost carrier) yang paling populer di Asia Tenggara. Namun, harga yang ditawarkan jauh di atas harga normal, bahkan lebih mahal daripada harga tiket normal dari maskapai penerbangan nasional Indonesia yang notabene non-LCC. Atas saran seorang teman, aku mencoba membuka website pencarian tiket skyscanner untuk mencari alternatif tiket yang lebih murah.

Berhasil! Ada beberapa alternatif tiket yang lebih murah untuk rute Osaka-Jogja. Sebagai mahasiswa sejati (baca: ngirit maksimal), tentu aku memilih tiket dengan harga termurah dong. Hahaha. Rute penerbangan untuk harga tiket termurah tersebut cukup panjang dan memakan waktu lama, yaitu Osaka - Hongkong - Kuala Lumpur - Jogja dengan lama waktu transit 12 jam di Hongkong. Beberapa teman berbisik, "ih, lama bener itu transitnya 12 jam. Capek banget pasti". Dasar aku anak ndablek dengan jiwa petualang yang masih menggebu-gebu, aku ambil saja penerbangan dengan rute seperti itu, "ah, masih muda ini... sekalian jalan-jalan lah!", batinku waktu itu.


Berangkat sendiri tanpa itinerary

Pukul 3 pagi tanggal 12 Agustus 2017, setelah sebelumnya menginap di bandara KIX Osaka, aku melakukan check in kemudian melangkah pasti ke dalam pesawat yang akan membawaku ke Hongkong. Rasa-rasanya pagi itu hanya aku satu-satunya penumpang ber-paspor Indonesia. Aku sama sekali tidak sempat membuat itinerary (rencana perjalanan) karena beberapa minggu sebelumnya kejar setoran di lab agar bisa pulang ke Indonesia dengan hati tenang.

Pagi itu aku menikmati sunrise di langit antara Osaka dan Hongkong. Saat pesawat semakin dekat dengan Hongkong, aku mulai bisa melihat gedung-gedung pencakar langit yang berbaris di sela-sela bukit. Kira-kira pukul 8 aku tiba di HKIA (Hongkong International Airport) dan tanpa pikir panjang langsung mengambil antrian imigrasi. Ketika itu aku masih belum tau akan melangkahkan kaki ke mana, "yang penting lihat-lihat suasana Hongkong", pikirku sederhana.


Lapar!

Setelah lolos imigrasi dan custom aku segera menuju counter informasi untuk mencari tempat makan halal di area bandara. Perut karetku ini sudah meronta-ronta minta diisi kembali (padahal di pesawat sudah sempat makan onigiri yang kubawa sejak dari Matsuyama). Mbak-mbak informasi yang sangat cantik itu sedikit terlihat bingung saat kutanya tentang tempat makan halal. Setelah kujelaskan bahwa aku mencari tempat makan yang memiliki menu yang bisa kumakan, dia hanya menggeleng pelan sambil berkata, "over there, they serves chicken. Only if you can eat. The rest, I'm not sure" (Di sana, mereka menyediakan ayam. Kalau anda bisa memakannya. Sisanya, saya tidak yakin).

Aku mengangguk lemah dan mengucapkan terimakasih padanya. Bagiku memakan ayam tidak bisa menjadi alternatif pilihan karena aku mengambil pemahaman bahwa segala macam daging yang tidak disembelih dengan tata cara agamaku tidak bisa kumakan. Aku memilih duduk di salah satu sudut bandara sambil mengisi baterai HP yang sudah kritis. Entah mendapat bisikan dari mana, tiba-tiba terlintas sebuah pikiran, "cari masjid aja, Fah. Pasti ada yang jual makanan halal di sekitarnya." Segera kuraih HPku dari tempatnya di-charge dan dalam sekejap aku sudah asyik berselancar di internet mencari masjid di Hongkong sekaligus cara menuju ke masjid tersebut.


Double decker pertamaku

Setelah mendapatkan tujuan utamaku pagi itu aku langsung menuju tempat pemberhentian bus yang masih satu bangunan dengan bandara HKIA. Masjid Kowloon menjadi pilihanku pagi itu karena konon lokasinya berada di daerah destinasi pelancong internasional. "Sambil menyelam minum air," pikirku. Setelah bertanya pada bagian informasi bus, aku membeli tiket pp bus jalur 21 yang menghubungkan HKIA dengan Tsim Sha Tsui, tempat di mana Masjid Kowloon berada. Aku sedikit terkejut dan gembira mengetahui bahwa bus yang akan membawaku ke tujuan hari itu adalah sebuah bus double decker. Aku belum pernah naik bus jenis ini sebelumnya (meski konon di Indonesia pun sudah ada, entah di kota mana). Jadilah ini menjadi pengalaman pertamaku naik bus yang biasanya hanya kulihat di gambar. Tanpa ragu aku langsung naik ke lantai 2 dan menikmati pemandangan Kota Hongkong dari dalam bus.
bus double decker yang banyak beroperasi di Hongkong (dokumentasi pribadi)

Makanan halal itu dijual orang Indonesia

Sesampainya di masjid Kowloon aku langsung mengamati area sekelilingnya. Aku tidak menemukan tempat makan yang memasang logo halal di sekitarnya. Sedikit kecewa aku masuk ke dalam area masjid dan bertemu dengan sekumpulan ibu di samping pintu masuk masjid. Mereka berbicara dalam Bahasa Jawa yang membuatku paham bahwa ibu-ibu ini adalah saudara satu bangsaku. Aku sapa mereka ringan dalam Bahasa Jawa dan meminta izin mendahului masuk masjid. Di dalam masjid aku sempat kebingungan karena ruang utamanya hanya untuk laki-laki saja. Aku naik ke lantai dua dan melihat ruang untuk perempuan, tapi aku memilih untuk melewatinya karena memang belum masuk waktu solat. Aku naik lagi ke lantai 3 yang lebih sepi untuk sekedar meletakkan tas dan membaca peta yang sempat aku ambil di bandara tadi.

Masjid Kowloon di kawasan wisata Tsim Sha Tsui (dokumentasi pribadi)

Setelah memahami peta tersebut aku memutuskan untuk melangkah dan memulai ngebolang sendiri, seperti biasanya. Aku turun dan kembali melewati lantai dua, kali ini aku melihat sekumpulan perempuan muda berjilbab tengah asyik bercengkerama sambil menikmati nasi bungkus bersama-sama. Seketika itu juga perutku kembali keroncongan. Kudekati mereka yang sedang asyik tersebut. Betapa terkejutnya aku melihat menu yang mereka santap sangatlah Indonesia. Nasi lengkap dengan orak-arik tempe dan sayur yang Indonesia banget.

Setelah menyapa dan sedikit basa-basi, aku bertanya di mana bisa mendapatkan nasi bungkus itu. Seorang perempuan mengajakku turun ke tempat ibu-ibu di dekat pintu masuk tadi berkumpul. Ternyata, salah satu dari mereka berjualan nasi bungkus dan jajanan Indonesia lainnya seperti pisang goreng dan nogosari. Surgawi! Sudah lama aku tidak menikmati makanan seperti ini. Tanpa pikir panjang langsung kubeli nasi bungkus berikut jajanannya kemudian kembali lagi ke lantai atas dan makan bersama perempuan-perempuan muda tadi.


Hidup dari kacamata seorang TKW

Saat makan bersama sambil ngobrol santai dengan para perempuan muda tersebut, salah satu dari mereka bertanya dengan logat Jawa Timur yang kental, "kerja ndek endi mbak?" (kerja di mana mbak?). "Tasih sekolah, mbak" (masih sekolah, mbak), jawabku polos. Mereka bingung, "sekolah?", tanya mereka hampir berbarengan. Aku menjelaskan bahwa aku sedang studi di Jepang dan hari itu dalam perjalanan pulang ke Indonesia untuk menikah, mampir Hongkong hanya untuk transit. Kemudian obrolan berlanjut pada tema "kesempatan kerja di Jepang". Meskipun aku bukan pekerja di Jepang, tapi aku memiliki beberapa kenalan tenaga kerja Indonesia di Jepang dan pernah menanyakan hal serupa pada para pekerja tersebut, sehingga sedikit banyak bisa membantu menjawab pertanyaan mbak-mbak ini. Kami bertukar nomor HP dan saling berjanji memberi kabar setelah nanti berpisah.

Puas berbincang, aku pamit untuk melanjutkan jalan-jalan. Salah seorang di antara mereka spontan berkata, "tak anterno ae" (kuantarkan saja). Aku mengangguk tanda setuju dan mengucapkan terimakasih pada mbak tersebut. Kami berdua menyusuri jalanan Tsim Sha Tsui hingga sampai di Hong Kong Clock Tower, sebuah landmark di negara (atau kota ya?) tersebut. Kami duduk cukup lama di tepi laut, sambil menikmati sebutir jeruk. Berbincang ngalor ngidul tentang kehidupan TKW di Hong Kong, ada yang senang, ada yang susah. Dari ceritanya aku baru mengetahui bahwa sebagian besar tenaga kerja Indonesia di Hongkong adalah perempuan dan hampir seluruhnya bekerja di rumah orang, tidak peduli apa latar belakang mereka ketika di Indonesia. Tidak sedikit dari mereka yang sudah bergelar istri dan ibu. Merantau jauh dari rumah, menjadi tulang punggung keluarga demi kehidupan keluarga yang lebih baik.


Aku dan Mbak Uus yang menemaniku jalan-jalan (dokumentasi pribadi)

Hatiku tergetar. Aku juga hidup jauh dari rumah, tapi aku merantau untuk belajar. Aku tidak memiliki tanggungan apapun di Indonesia sana, aku hanya perlu membiayai hidupku sendiri, itu pun sudah terpenuhi dari uang beasiswa yang diterima setiap bulannya. Itu saja aku sering merasa berat dan penuh perjuangan. Adaptasi dengan cuaca yang berbeda, budaya yang tidak sama, dan juga makanan yang harus ekstra pilah pilih. Bagaimana ceritanya jika aku ada di posisi mereka? Menjadi tulang punggung keluarga, hidup berjauhan dari anak yang dicintai, belum lagi kalau apes dapat majikan yang "galak".

Perasaan malu dan takjub bercampur menjadi satu melihat betapa santai dan wolesnya mbak ini menceritakan lembar demi lembar perjuangannya dan kawan-kawan TKW di perantauan. "Hidup itu dijalani saja mbak. Bersyukur dengan apapun pemberianNya. Dikasih apa saja pasti akan kurang kalau kita merasa kurang, cukup kalau kita merasa cukup. Sudah, tidak perlu gengsi-gengsian segala, apa adanya itu lebih tenang", katanya pada suatu ketika yang serta merta kuamini. "Hidup itu memang harus berjuang, harus semangat. Jadi perempuan itu harus kuat", katanya meneruskan. Kali ini aku terdiam, merenungi kalimat tersebut.


Momen diam seribu bahasa

Setelah dirasa cukup menikmati pemandangan pelabuhan Victoria yang terkenal itu,  kami meneruskan perjalanan ke Taman Kowloon. Lokasinya tepat di sebelah Masjid Kowloon tempat kami pertama kali bertemu tadi. Aku diantar berkeliling taman tersebut kemudian berhenti saat ada segerombolan ibu-ibu Indonesia duduk bersama. Ternyata, sore itu akan diadakan pengajian di taman tersebut, namun kami datang terlalu awal. Aku ikut duduk bersama puluhan TKW yang tengah berbincang riuh rendah. Aku hanya mengamati saja, sampai kemudian seorang perempuan muda seusiaku menyapa.

Pengajian ibu-ibu di Taman Kowloon (dokumentasi pribadi)

Kami berkenalan dan berbincang-bincang ringan. Perbincangan mengalir begitu saja, banyak obrolan yang aku rasa nyambung. Ketika dia tau bahwa aku adalah seorang pelajar, matanya berkaca-kaca. Dia berkata, "Mbak, saya ini pengen nerusin S2". Aku tersentak tapi tetap berusaha memasang wajah dan suara kalem, "oh iyaaa?". Dia kemudian bercerita bahwa dirinya adalah seorang sarjana lulusan salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang. Dia menunjukkan foto-foto wisudanya padaku, aku tidak berani menatap matanya, takut menemukan air mata di sana. "Saya pengen nerusin sekolah mbak, tapi adik-adik saya juga butuh sekolah. Saya harus nyekolahin adik saya", ceritanya mengalir begitu saja tanpa aku minta dia bercerita. Perih rasanya hati ini. Aku juga memiliki dua orang adik, sama sepertinya, tapi orang tuaku tidak pernah memintaku untuk ikut membiayai pendidikan adik-adikku. Justru, orangtuaku mendorongku untuk sekolah lanjut ada ataupun tidak ada beasiswa, kata mereka dulu. Sebuah kenikmatan luar biasa yang sungguh mewah bagi orang lain, dan aku baru saja menyadarinya. Aku kehilangan kata-kata di depannya, bahkan untuk sekedar menghiburnya.

"Majikan saya ini keras mbak, kamar saya dipasangi CCTV dan perekam suara. Saya gak boleh solat, gak boleh ngaji", katanya lagi dengan pandangan mata yang kosong. "Saya gak pengen mbak jadi... yah... pembantu", katanya setengah berbisik. "Saya gak pernah cerita sama temen-temen saya, saya tutupi kalau saya di sini dan jadi... pembantu", terusnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apapun. Lidahku kelu, hatiku teriris-iris. Perempuan ini lahir di tahun yang sama sepertiku, cerdas dan memiliki potensi serta kemauan untuk maju, hanya saja masalah ekonomi menjadi tantangan bagi hidupnya. Sebuah cerita kehidupan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Cerita yang pasti akan membuatnya menjadi pribadi yang kuat dan tegar, semoga. Kami bertukar nomor HP dan lagi-lagi aku membuat janji untuk tetap berhubungan dengannya setelah kami berpisah.


Nasihat seorang ibu

Aku kembali ke Masjid Kowloon untuk mengambil tas yang tadi kutinggalkan begitu saja di sana. Saat memasang sepatu, aku kembali bertemu seorang ibu tenaga kerja Indonesia. Ia mendengar cerita bahwa aku adalah seorang pelajar yang sedang dalam perjalanan pulang ke Indonesia. Air matanya menggenang di kedua bola matanya. Dengan terbata dia berkata, "Mbak... Njenengan banyak-banyak bersyukur ya... Orang tua njenengan lapang rejekinya jadi njenengan bisa ngerasain sekolah. Banyak-banyak bersyukur mbak, karena diparingi otak yang cerdas jadi bisa dapat beasiswa. Banyak yang gak bisa seperti njenengan, termasuk anak saya. Anak saya dulu minta kuliah, tapi saya gak bisa mbiayai." Dia menghentikan kalimatnya kemudian mengerjap-ngerjapkan matanya, mungkin ingin menghalau air matanya tertumpah di depanku.

Aku diam. Meraih tangan ibunya dan kusalami seperti seorang anak salim kepada orangtuanya. "Nggih, bu. Insyaallah. Maturnuwun" (iya bu, insyaallah, terimakasih), jawabku singkat.


Kunjungan singkat penuh makna

Aku kembali menuju HKIA dengan menggunakan bus double decker yang sama. Sepanjang perjalananku kembali ke HKIA aku merenungi semua peristiwa yang terjadi. Sungguh perjalanan yang tidak pernah terbayang sama sekali dalam hidupku. Andaikan tiket murah yang kubeli kali itu tidak "mendamparkanku" ke Hongkong, rangkaian peristiwa ini tidak akan pernah terjadi.

Syukur dan sabar, dua hal yang menjadi pelajaran dalam perjalanan ini. Seperti apapun kehidupan yang kita hadapi sekarang, syukur dan sabar adalah kunci agar tetap bisa semangat dalam menjalani hari.



Matsuyama, 21 September 2017
Ardhika Ulfah

3 komentar:

  1. wah pengalaman nya kece Ulfah. iya benar bahwa kita memang harus bersyukur karena diberi banyak nikmat sama Allah

    BalasHapus
  2. Terima kasih ya sudah ikutan Blog Competition "Aha Moments" Skyscanner Indonesia. Good luck :)

    BalasHapus
  3. Jejak. Terima kasih atas partisipasinya. :)

    BalasHapus